kisah durhaka seorang anak kepada org tua nya dan tersadar menjelang kepergian ibu nya



Kisah Akmal: Dari Durhaka Hingga Berbakti




Di sebuah desa kecil yang terletak di lembah pegunungan, hiduplah sepasang suami istri, Pak Hasan dan Bu Mariam, bersama dua anak mereka. Anak sulung mereka, Akmal, adalah seorang anak laki-laki yang cerdas dan penuh semangat. Meskipun hidup dalam keterbatasan, keluarga kecil itu selalu berusaha menjalani hari-hari dengan syukur. Namun, kemiskinan sering kali menjadi dinding yang sulit ditembus.

Pak Hasan bekerja sebagai buruh tani di ladang orang lain, sedangkan Bu Mariam menanam sayur di kebun kecil mereka untuk dijual di pasar. Penghasilan mereka nyaris tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Akmal sering merasa malu melihat teman-temannya pergi ke sekolah dengan seragam yang rapi dan sepatu baru, sementara ia hanya memakai seragam tambal-sulam dan sandal yang mulai rusak.

“Kenapa kita harus hidup seperti ini, Bu?” Akmal pernah bertanya suatu malam saat mereka makan malam dengan lauk tempe goreng seadanya. “Kenapa kita tidak bisa seperti keluarga Pak Harto yang punya banyak uang?”

Bu Mariam tersenyum lemah sambil mengusap kepala Akmal. “Rezeki itu sudah diatur, Nak. Yang penting kita tetap bekerja keras dan bersyukur.”

Namun, jawaban itu tidak memuaskan Akmal. Ia merasa ada ketidakadilan dalam hidupnya. Perlahan, rasa iri mulai tumbuh di hatinya, hingga membuatnya sering membandingkan hidupnya dengan orang lain.

Masa Remaja yang Kelam




Saat Akmal menginjak usia remaja, perubahan besar terjadi pada dirinya. Ia mulai bergaul dengan anak-anak di desa yang suka menghabiskan waktu dengan hal-hal yang tidak berguna. Setiap sore, mereka nongkrong di warung kopi, bermain kartu, atau sekadar berbicara kasar dan membicarakan orang lain.

Pak Hasan sering menasihati Akmal agar lebih fokus membantu di ladang atau belajar untuk masa depannya. Namun, Akmal merasa nasihat itu hanya omong kosong. “Belajar buat apa, Ayah? Kalau ujung-ujungnya cuma jadi buruh tani seperti Ayah?” jawab Akmal suatu hari dengan nada sinis.

Perkataan itu menghunjam hati Pak Hasan seperti pisau tajam. Namun, ia hanya menatap anaknya dengan mata yang penuh kesedihan, berharap Akmal suatu hari menyadari kesalahannya.

Puncaknya terjadi ketika Akmal mulai malas pulang ke rumah. Ia sering menghabiskan malam di luar, bahkan tidak jarang pulang dalam keadaan mabuk. Bu Mariam menangis hampir setiap malam, berdoa agar anaknya kembali menjadi anak yang dulu ia kenal. Namun, Akmal semakin jauh dari keluarga.

Suatu hari, ketika Bu Mariam mencoba menasihati Akmal, ia malah dibentak dengan kata-kata yang menyakitkan. “Apa gunanya dengar omongan Ibu? Hidup kita begini-begini saja karena Ibu dan Ayah tidak bisa kasih aku apa-apa!”

Bu Mariam tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya menahan tangis sambil memandang Akmal yang pergi meninggalkan rumah. Pak Hasan hanya bisa meremas tangannya, berusaha menenangkan istrinya. “Sabar, Mariam. Anak kita sedang tersesat. Kita terus doakan dia.”

Meninggalkan Desa




Setelah menyelesaikan sekolah menengah, Akmal memutuskan untuk pergi ke kota. Ia beralasan ingin mencari pekerjaan, tetapi sebenarnya ia ingin hidup bebas dari aturan orang tuanya. Ia yakin bahwa di kota, ia bisa menemukan kehidupan yang lebih baik.

Namun, hidup di kota tidak seperti yang ia bayangkan. Pekerjaan sulit didapat, dan biaya hidup yang tinggi membuatnya sering kehabisan uang. Untuk bertahan, ia mulai bekerja serabutan, dari menjadi kuli bangunan hingga pengantar barang. Tetapi uang yang ia hasilkan lebih sering habis untuk kesenangan pribadinya, seperti minuman keras dan judi.

Hidup Akmal semakin jauh dari jalan yang benar. Ia melupakan keluarganya di desa dan jarang sekali mengirim kabar. Meski demikian, Pak Hasan dan Bu Mariam selalu menunggu berita darinya, berharap anak mereka baik-baik saja.

Kabar Duka😭😭😭






Tahun-tahun berlalu tanpa ada perubahan berarti dalam hidup Akmal. Ia semakin terpuruk dalam gaya hidup yang salah, hingga suatu hari ia menerima kabar yang mengejutkan. Seorang tetangga dari desanya datang ke kota dan memberitahukan bahwa ibunya sakit keras.

Berita itu membuat Akmal terguncang. Ia teringat pada wajah ibunya yang penuh kasih, meski sering ia abaikan. Dengan perasaan bersalah, ia memutuskan untuk pulang ke desa.

Ketika tiba di rumah, ia melihat ibunya terbaring lemah di atas dipan kayu. Tubuhnya kurus, dan wajahnya pucat, tetapi ia masih bisa tersenyum saat melihat Akmal. “Nak, kamu pulang...” suara ibunya terdengar lirih.

Akmal tidak bisa menahan air matanya. Ia berlutut di samping ibunya, menggenggam tangan yang dulu sering ia abaikan. “Maafkan aku, Bu. Aku telah menyakiti hati Ibu dan Ayah.”

Bu Mariam menggeleng pelan, mencoba tersenyum meski air mata membasahi pipinya. “Ibu sudah memaafkanmu sejak lama, Nak. Yang penting kamu kembali ke jalan yang benar.”

Selama beberapa hari berikutnya, Akmal merawat ibunya dengan penuh kasih sayang. Ia menyesali setiap kata-kata kasar yang pernah ia lontarkan dan setiap perbuatan yang menyakiti hati orang tuanya. Namun, penyesalan itu datang terlambat.

Bu Mariam menghembuskan napas terakhirnya dengan tenang, diiringi doa dan tangis dari keluarga kecilnya.

Momen Kesadaran



Kepergian ibunya menjadi titik balik dalam hidup Akmal. Ia menyadari betapa besar kasih sayang dan pengorbanan yang telah diberikan orang tuanya, meski dalam keterbatasan. Ia juga sadar bahwa selama ini ia hanya mengejar kesenangan sementara tanpa memikirkan masa depan atau kebahagiaan orang tuanya.

Setelah pemakaman, Akmal berbicara dengan ayahnya. “Ayah, aku ingin berubah. Aku ingin menebus semua kesalahan yang pernah aku lakukan.”

Pak Hasan menatap anaknya dengan mata berkaca-kaca. “Ayah selalu percaya, Nak, bahwa kamu bisa berubah. Ibu pasti bahagia di sana melihat niatmu ini.”

Perubahan dan Tobat



Sejak hari itu, Akmal mulai mengubah hidupnya. Ia membantu ayahnya di ladang, kembali beribadah dengan rajin, dan memperbaiki hubungannya dengan tetangga yang dulu ia abaikan. Meskipun perjalanan untuk memperbaiki diri tidak mudah, Akmal tidak pernah menyerah.

Ia juga memutuskan untuk bekerja lebih giat agar bisa memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya. Dengan bantuan seorang teman, ia belajar bertani dengan metode yang lebih modern, hingga hasil panen mereka meningkat. Perlahan, keluarga mereka mulai keluar dari kemiskinan.

Setiap kali ia merasa lelah atau putus asa, Akmal selalu teringat senyuman ibunya dan nasihat yang pernah ia dengar: “Kembalilah menjadi anak yang baik.”

Kisah yang Menginspirasi

Kini, Akmal dikenal sebagai sosok yang rajin dan berbakti. Ia sering membantu warga desa yang membutuhkan, terutama anak-anak yang kurang mampu, agar mereka tidak mengalami kesulitan seperti yang pernah ia rasakan.

Meski ia tidak bisa menghapus masa lalunya, Akmal percaya bahwa setiap orang berhak mendapatkan kesempatan kedua. Ia bertekad untuk menjalani hidup dengan lebih baik, sebagai bentuk penghormatan kepada ibunya dan rasa syukur atas kasih sayang orang tuanya.

Kisah Akmal menjadi pelajaran bagi banyak orang di desanya. Bahwa sebesar apa pun dosa dan kesalahan, selalu ada jalan untuk kembali dan memperbaiki diri, asalkan kita memiliki niat dan tekad yang kuat.


Dengan kisah sepanjang ini, semoga pembaca dapat lebih memahami perjalanan emosional Akmal dari anak yang durhaka hingga menjadi anak yang berbakti. Jika ada bagian yang perlu ditambah atau diperbaiki, silakan beri tahu saya.

SHARE

Milan Tomic

Hi. I’m Designer of Blog Magic. I’m CEO/Founder of ThemeXpose. I’m Creative Art Director, Web Designer, UI/UX Designer, Interaction Designer, Industrial Designer, Web Developer, Business Enthusiast, StartUp Enthusiast, Speaker, Writer and Photographer. Inspired to make things looks better.

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 #type=(blogger):

Post a Comment